MAKALAH PENGERTIAN WAWANCARA Mininewspaper

PEMBINAAN PENULISAN WAWANCARA/PROFIL

1.Pengertian Wawancara/Profil

Apakah yang dinamakan wawancara? Bagaimana melakukan wawancara? Apa yang harus dipersiapkan dalam wawancara? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tentu menjadi pertanyaan yang sering ditanyakan dalam diri seseorang yang belum pernah melakukan wawancara. Wawancara sendiri memiliki arti yaitu tanya-jawab yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan keterangan atau pendapat tentang suatu hal atau masalah yang sedang terjadi. Wawancara biasa dilakukan oleh para jurnalis untuk keperluan penulisan berita yang disiarkan dalam media massa. Selain itu, wawancara juga dapat dilakukan oleh pihak lain dalam dunia kerja untuk suatu keperluan. Misalnya untuk keperluan penelitian atau penerimaan pegawai.

Namun, di sini penulis akan membahas tentang teknik wawancara dalam dunia jurnalistik. Tujuan seorang jurnalis melakukan wawancara ialah untuk mencari kebenaran dan mengumpulkan informasi berdasarkan fakta, lengkap, akurat, dan fair atau adil. Seorang pewawancara yang baik mencari pengungkapan atau wawasan (insight), pikiran atau sudut pandang yang menarik, yang cukup bernilai untuk diketahui. Jadi bukan hal yang sudah secara umum didengar atau diketahui.

Wawancara memiliki perbedaan dengan percakapan biasa yang dilakukan. Perbedaan tersebut yaitu wawancara bertujuan menggali permasalahan yang ingin diketahui untuk disampaikan kepada khalayak (media cetak), pendengar (radio), atau pemirsa (televisi). Namun wartawan yang sedang melakukan wawancara tidak bisa memaksa seseorang memberikan informasi yang dibutuhkan, tetapi bisa membujuk seseorang agar bersedia memberikan keterangan yang diperlukan.

Pengertian dari wawancara sendiri adalah pertemuan tatap muka. Wawancara melibatkan interaksi verbal antara dua orang atau lebih, tetapi biasanya diprakarsai untuk suatu maksud khusus dan biasanya difokuskan pada suatu masalah khusus. Dalam hal ini wawancara berbeda dari konversasi biasa antar-teman. Pewawancara harus berusaha menjaga agar subyeknya tidak beralih dari masalah yang dibicarakan. Karena itu perlu ada kontrol. (Ishwara. 2005: 85)

Pengertian wawancara dalam KBBI yaitu percakapan antara dua orang atau lebih yang berlangsung antara narasumber dan pewawancara. Pengertian wawancara menurut para ahli sebagai berikut.

1. Charles Stewart dan W.B Cash

Wawancara adalah proses komunikasi dipasangkan dengan tujuan serius dan telah ditentukan dirancang untuk bertukar perilaku dan melibatkan tanya jawab.

2. Robert Kahn dan Channel

Wawancara adalah pola khusus dari interaksi dimulai secara lisan untuk tujuan tertentu, dan difokuskan pada daerah konten yang spesifik, dengan proses eliminasi dari bahan-bahan yang tidak ada hubungannya secara berkelanjutan.

Wawancara adalah cara yang digunakan untuk tugas tertentu, mencoba untuk mendapatkan informasi dan secara lisan pembentukan responden, untuk berkomunikasi tatap muka.

Wawancara adalah percakapan dengan tujuan tertentu. Percakapan yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (yang mengajukan pertanyaan) dan diwawancarai (yang memberi jawaban atas pertanyaan).

Wawancara dipandu dan rekaman pembicaraan atau tatap muka percakapan di mana seseorang mendapat informasi dari orang lain.

Wawancara adalah proses pembekalan verbal, di mana dua orang atau lebih untuk menangani secara fisik, orang yang dapat melihat muka orang lain dan mendengarkan suara telinganya sendiri, ternyata informasi langsung alat pengumpulan pada beberapa jenis data sosial, baik yang tersembunyi maupun manifest.

Seorang psikolog mengatakan bahwa wawancara dapat menjadi alat bila dilakukan oleh orang-orang yang mempekerjakan calon/kandidat untuk posisi, jurnalis, atau orang-orang biasa yang mencari tahu tentang kepribadian seseorang atau mencari tahu informasi.

Dari pengertian wawancara yang disampaikan oleh para ahli dapat disimpulkan mengenai wawancara. Wawancara adalah proses komunikasi dengan pola percakapan yang dilakukan oleh dua orang antara pewawancara dan yang diwawancarai untuk mencapai tujuan tertentu disusum secara lisan maupun tulis yang kemudian akan dicetak ke media massa (Koran, televisi, majalah, dan radio).

Dalam proses wawancara, si pewawancara atau wartawan bersangkutan benar-benar harus meredam egonya, dan pada saat yang sama harus melakukan pengendalian tersembunyi. Ini adalah sesuatu yang sulit. Pernahkah Anda melihat dalam suatu acara 2 talkshow di televisi, di mana si pewawancara malah bicara lebih banyak dan seolah-olah ingin kelihatan lebih pintar daripada orang yang diwawancarai? Ini adalah contoh yang menunjukkan, si pewawancara gagal meredam ego dan dengan demikian memperkecil peluang bagi orang yang diwawancarai untuk mengungkapkan lebih banyak. (Arismunandar. 2013: 1-2)

Tiap pewawancara mempunyai gaya berbeda-beda saat mewawancarai. Demikian pula tiap orang yang diwawancara tidak ada yang sama. Karena itu seorang pewawancara harus mengembangkan berbagai kemampuan pribadinya agar wawancara yang dilakukannya itu berhasil.

Wawancara bukanlah sesuatu yang dipelajari dan kemudian diterapkan begitu saja. Wawancara adalah suatu proses tertentu yang mengharuskan penafsiran dan penyesuaian terus-menerus. Karena itu cara terbaik untuk belajar wawancara adalah dengan berwawancara sendiri. Kadang-kadang seorang wartawan muda merasa bahwa mengajukan pertanyaan yang benar itu susah, sebab khawatir pertanyaan itu mungkin akan menyinggung atau menyudutkan yang diwawancara. Oriana Fallaci, seorang wartawati Italia yang terkenal dengan wawancaranya mengatakan bahwa kesuksesannya dalam mewawancarai para pemimpin dunia mungkin karena ia berhasil mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah diajukan oleh wartawan-wartawan lain. (Ishwara. 2005: 83)

Bagaimana cara wartawan mengontrol jalannya wawancara? Itulah yang kadang-kadang jadi masalah dasar dalam melakukan wawancara. Sebaiknya seorang wartawan atau pewawancara tetap melakukan kontak dan tidak mengalihkan perhatian ke hal-hal yang lain. Seperti tatap muka maka semua indera pewawancara dapat menyerap informasi, kata-kata, sekaligus penggambaran seseorang.

Ketika wawancara, seorang pewawancara harus melihat mata orang yang diwawancarai. Mata itu bisa menyampaikan secara jujur keadaan orang yang diwawancarai ketika diajukan pertanyaan. Melalui mata akan terlihat apakah orang itu bergairah, apakah orang itu gelisah, tenang, atau barangkali merasa terjebak, dan berbohong. Semua ini bisa membentuk pertanyaan atau arah dari pertanyaan pewawancara. Wawancara tatap muka adalah wawancara yang paling sering digunakan untuk dapatkan informasi dari seseorang. Anda dapat mencermati pakaian, gerak atau bahasa tubuh, ekspresi wajah. (Ishwara. 2015)

Ada beberapa prinsip dasar wawancara, yaitu:

Wawancara adalah sebuah konversasi atau perbincangan atau percakapan. Biasanya dilakukan antara dua orang, dengan tujuan untuk mendapatkan informasi atas nama audiences yang tidak tampak. Berita yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan biasanya dapat digali melalui percakapan antara dua orang atau lebih.

Dalam sebuah wawancara, tidaklah berarti bahwa wartawan harus banyak bicara. Yang baik justru kebalikannya. Sebaiknya seorang wartawan bertanya seperlunya sesuai dengan maksud dan tujuan yang berkain dengan penulisan berita. Seorang wartawan akan berusaha sedemikian rupa agar dapat memperoleh informasi sebanyak-banyaknya. Semakin banyak informasi yang didapat semakin kuat sebuah berita tersebut.

Melalui sebuah wawancara, dianjurkan agar wartawan menjadi ahli setelah meneliti suatu topik dengan mendalam. Dengan hal ini, orang akan lebih berterus-terang jika anda terbuka dan berterus-terang. Wartawan perlu membuat narasumber menikmati suasana selama diwawancarai. Karena membangun suasana seperti ini, narasumber tidak akan merasa tegang dan canggung saat berbicara atau saat diwawancarai.

Selain prinsip-prinsip dasar yang sudah dijabarkan di atas, ada beberapa prinsip praktis lainnya yang layak dipertimbangkan untuk dipergunakan sebagai berikut. (Ishwara. 2015)

1. Terbuka dan beri perhatian.

Reportase. Menurut A.J. Liebling pada umumnya adalah menaruh perhatian pada setiap orang yang kita jumpai. Kita tidak harus menyukai setiap orang yang kita wawancarai. Tetapi kita harus bisa memberikan perhatian kepadanya.

1. Akan menuai hasil dari apa yang sudah tanam.

Ada prinsip penting dalam wawancara. “Pertanyaan yang bodoh sama dengan jawaban yang bodoh pula”. Tipu dan kebohongan menghasilkan tipu dan kebohongan. Ketulusan membuahkan ketulusan. Sebelum wawancara, kita harus hati-hati dalam membuat pertanyaan atau mengajukan pertanyaan. Kita harus benar-benar menyiapkan daftar pertanyaan akan tidak salah bertanya dan menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

1. Orang akan bicara lebih bebas jika mereka senang

Kita bisa membuat wawancara menyenangkan dengan cara mendengarkan sungguh-sungguh, dengan menghargai orang sebagai teman sesama, dengan tawa menyambut banyolan mereka, dengan mengajukan pertanyaan yang didasarkan pada persiapan matang sebelumnya dan dengan mendengarkan pada apa yang mereka katakan.

1. Dalam wawancara harus menambang berton-ton bijih untuk mendapatkan satu gram emas.

Kebanyakan orang hanya omong. Mereka menjawab pertanyaan anda sebisanya. Mereka tidak merasa perlu untuk bicara menurut bentuk cerita yang ingin kita tulis. Tugas kita adalah untuk membentuk semuanya itu menjadi cerita yang enak dibaca.

1. Wawancara dianggap berhasil bila yang diwawancara merasa bebas untuk mengatakan apa yang sebenarnya dipikirkan dan dirasakan.

Ini berarti bahwa kita harus mendengarkan tanpa rasa ingin mengadili, yang berarti berusaha mengerti pesan dari sudut pandang orang lain. Kita harus bisa memahami pandangan dan perasaan narasumber, hingga narasumber mampu mengungkapkan jawabannya dengan bebas.

Ada beberapa macam wawancara dalam dunia jurnalistik, antara lain (Romli. 2003: 36)

1. Wawancara berita (news-peg interview), yaitu wawancara yang dilakukan untuk memperoleh keterangan, konfirmasi, atau pandangan interviewee tentang suatu masalah atau peristiwa. Wawancara berita ini bentuk wawancara untuk memberikan keterangan ahli mengenai suatu masalah yang sedang hangat di masyarakat. Berikut contoh wawancara berita.

Sumber: Majalah Suara USU Edisi VII/XXI/2016

Gambar 1 juga merupakan contoh wawancara dengan menggunakan metode lamgsung yaitu dengan cara bertatap muka dengan narasumber. Wawancara dalam majalah Suara Usu Universitas Sumatra Utara dengan judul “Wujudkan Masyarakat SUMUT Imun Dari Penyalahgunaan Narkotika” adalah contoh wawancara berita (news-peg interview). Wawancara ini merupakan wawancara yang meminta konfirmasi, pandangan tentang isu narkoba yang tengah hangat di masyarakat. Narasumber yaitu Anji Loedinata sebagai seorang Brigadir kepolisian dan juga kepala BNN di Provinsi Sumatra Utara. Topik wawancara yaitu jumlah pengguna narkoba di Sumatra Utara serta dampak dan solusinya. Sumatra Utara merupakan salah satu penyalahgunaan dan pengedar narkotika tertinggi di Indonesia. Dengan cara mensosialisasikan bahaya narkotika dan bermodalkan stiker yang tercantum nomor telepon BNN dengan harapan masyarakat tidak takut untuk melaporkan jika terjadi penyimpangan.

2. Wawancara pribadi (personal interview), yaitu wawancara untuk memperoleh data tentang diri pribadi dan pemikiran interviewee. Berita yang dihasilkannya berupa profil interviewee, meliputi identitas diri, perjalanan hidupnya, dan pandangan-pandangannya mengenai berbagai masalah -biasanya berkaitan dengan masalah aktual atau masalah yang terkait dengan profesinya. Bisa juga wawancara ini memberikan kesempatan kepada sosok yang diwawancarai untuk mengungkapkan kepribadiannya melalui kata-kata sendiri. Berikut contoh wawancara pribadi.

Sumber: Majalah KharismaVolume V

Gambar 2 merupakan contoh wawancara. Wawancara tersebut membahas mengenai remaja inspiratif dengan judul “Cerminan Dua Sisi Logam” ini menggunakan metode terjun langsung. Mengapa demikian, karena dalam wawancara ini wartawan secara langsung bertatap muka kepada narasumber yang diwawancarai. Wawancara ini wartawan menggali informasi yang sangat penting atau yang dapat memotivasi remaja lainnya. Pertanyaan yang diajukan juga sangat berbobot, pemabaca atau pendengar dapat mengambil segi positifnya dari tema yang dibahas ini. Kita dapat membuat para remaja untuk dapat mengikuti jejak Kadek Nova Ariasa ini untuk dapat berprestasi di sekolahnya masing-masing. Kita juga dapat membanggakan diri sendiri, keluarga, dan sekolah dengan cara yang dilakukan oleh Kadek Nova Ariasa ini. Mengenai prestasi tidak akan pernah ada habisnya dan tidak akan pernah membosankan untuk menunjukkan kelebihan diri.

Sumber: Majalah Intergrito

Gambar 2 merupakan contoh wawancara dengan menggunakan metode langsung. Wawancara dalam majalah Intergrito dengan judul “Tantangan Membuat Hidup Lebih Berwarna” merupakan contoh wawancara pribadi (personal interview). Wawancara ini membahas tentang perjalanan hidup Hadry Santriago yang sukses menjadi CEO General Electric Indonesia meskipun bertumpu pada kursi roda karena menderita kanker kelenjar getah bening. Sosok Handry Santriago memotivasi orang untuk tidak mudah menyerah dalam mengejar mimpi. Meskipun mempunyai kekurangan bisa menjadi seorang leadership.

3. Wawancara eksklusif (exclusive interview), yaitu wawancara yang dilakukan seorang wartawan atau lebih (tetapi berasal dari satu media) secara khusus dengan interviewee, berkaitan dengan masalah tertentu di tempat yang telah disepakati bersama oleh pewawancara dan interviewee. Contoh wawancara eksklusif (exclusive interview) sebagai berikut.

Sumber: Majalah Dinamika Edisi 44

Gambar di samping adalah contoh wawancara dengan judul “Peningkatan Mutu Universitas Ditilik Lewat Akreditasi”. Wawancara tersebut menggunakan metode terjun langsung dalam Majalah Dinamika Edisi 44. Wawancara merupakan wawancara eksklusif (exclusive interview) karena ada dua warwatwan kampus yang mewawancarai. Wawancara ini membahas tentang penilaian terhadap kenaikan akreditasi kampus khususnya di Universitas Islam Negeri Sumatra Utara. Topik wawancara yaitu tentang penataan ruang yang berkaitan dengan gedung, ruang kuliah, laboratorium, dll. Kedua yaitu dengan peningkatan kemampuan kompetensi dosen. Ketiga tentang kurikulum.

4. Wawancara sambil lalu atau tidak terencana (casual interview), yaitu wawancara yang dilakukan tidak secara khusus berlangsung secara kebetulan, tidak ada perjanjian terlebih dahulu dengan interviewee. Wawancara ini dilakukan pada narasumber yang tidak punya banyak waktu untuk diwawancarai. Misalnya mewawancarai seorang pejabat sebelum, setelah, atau di tengah berlangsungnya sebuah acara yang ia hadiri, bahkan ketika pejabat tadi berjalan menuju mobilnya untuk pulang. Contoh wawancara sambil lalu atau tidak terencana (casual interview) sebagai berikut. Sumber: Kompas, Rabu 28 September Berita yang berjudul “Berharap MU Juara” dalam Koran Kompas, Edisi Rabu, 28 September 2016 ini merupakan contoh wawancara sambil lalu atau tidak terencana (casual interview). Wawancara ini merupakan contoh wawancara sambil lalu atau tidak terencana (casual interview) karena dalam berita ini adalah menceritakan tentang tokoh pelatih klub sepakbola dunia yang berharap klubnya menjadi juara liga inggris. Berita ini menggunakan waancara sambil lalu atau tidak terencana (casual interview) karena mewawancarai narasumber pada saat akan berlangsungnya pertandingan.

5. Wawancara keliling/jalanan (man-in-the street interview), yaitu wawancara yang dilakukan seorang wartawan dengan menghubungi berbagai intervieweesecara terpisah, yang satu sama lain mempunyai kaitan dengan masalah atau berita yang akan ditulis. Wawancara ini biasanya dilakukan langsung di tempat kejadian. Misalnya, ada peristiwa kebakaran. Wartawan melakukan wawancara dengan saksi mata, korban, dan lainnya tentang peristiwa tersebut.

Berita yang berjudul “Penertiban Baru di Kampung” dalam koran Kompas, Jum’at 16 September 2016 ini merupakan contoh wawancara keliling/jalanan (man-in-the street interview). Yaitu seorang wartawan dengan menghubungi berbagai intervieweesecara terpisah, yang satu sama lain mempunyai kaitan dengan masalah atau berita yang akan ditulis. Dalam berita ini, narasumber yang diwawancarai yaitu warga Wijaya Timur Dalam korban penertiban, Kepala Dinas Tata Air DKI, Kepala Dinas Penataan Kota DKI dan Komisioner KOMNAS HAM. Para narasumber tersebut di wawancarai terpisah oleh wartawan yang menulis berita. Hal tersebut terlihat pada penggalan kalimat pada paragraph ke 12 yaitu “Secara terpisah, ……..”.

Di dalam lingkungan pers internasional dikenal wawancara yang sifatnya berbeda-beda (Arismunandar. 2013: 8-9). Antara lain ialah:

Nama dan jabatan pemberi wawancara dapat digunakan sebagai sumber, dan keterangannya boleh dikutip langsung serta dimuat di media massa. Ini adalah bentuk wawancara yang terbaik dan paling umum dilakukan di media massa.

Pemberi wawancara tidak dapat digunakan sebagai sumber dan keterangannya sama sekali tidak boleh dimuat di media massa. Jurnalis harus berusaha keras menghindari situasi seperti ini. ini berarti keterangan yang diberikan bukan konsumsi untuk publik. Informasi itu hanya untuk menambah pengetahuan jurnalis saja.

Background berarti boleh menggunakan kutipan langsung atau menyiarkan keterangan apapun yang diberikan, tetapi tanpa menyebutkan nama dan jabatan pemberi wawancara sebagai sumbernya. Misalnya, digunakan istilah ―menurut sumber di departemen…‖ menurut persyaratan yang disepakati dengan pemberi wawancara. Kadang-kadang disebut juga “not for attribution”.

Informasi bisa dimuat, tetapi tidak boleh menggunakan kutipan langsung atau menyebut nama, jabatan, dan instansi pemberi wawancara. Yang digunakan adalah “menurut keterangan …..” atau “diperoleh kabar bahwa…….”

Sebelum tulisannya dimuat di media massa, wartawan harus memberitahu redaktur tentang sifat wawancara yang dilakukannya. Hal ini dilakukan untuk menghindari salah kutip atau salah penulisan dalam pemberitaan. Karena saat melakukan proses wawancara ada kesepakatan yang telah dicapai dengan pemberi wawancara, itu harus dihormati dan terwujud dalam pemberitaan. Kalau pemberi wawancara tidak ingin disebut nama dan jabatannya, misalnya, nama dan jabatannya itu tentu tidak boleh dimuat. Redaktur perlu diberitahu karena begitu berita hasil wawancara itu dimuat, tanggung jawab atas isi berita tidak lagi terletak di pundak seorang wartawan, tetapi menjadi tanggungjawab institusi media bersangkutan.

Namun, meskipun pemberi wawancara mempunyai hak untuk menyembunyikan identitasnya, setidaknya wartawan berusaha membujuk pemberi wawancara agar bersedia disebutkan identitasnya dalam pemberitaan agar suatu berita itu lebih akurat dengan didukung sumber-sumber yang jelas. Selain itu juga karena, apabila terlalu banyak sumber berita yang tidak jelas identitasnya, kredibilitas wartawan dipertaruhkan. Tingkat kepercayaan pembaca terhadap isi tulisannya juga semakin besar, seolah-olah isi tulisan itu hanya berdasarkan gosip, isu, kabar angin atau bahkan karangan wartawan saja.

Wawancara tidak bisa dilakukan dengan sembarang narasumber (Romli. 2003: 37-38). Karena itu, ada beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang narasumber yaitu 1.) Kredibel, orang nomor satu, terkenal atau terkemuka, pakar di bidangnya, memiliki kewenangan, berprestasi atau unggul, 2.) Tajam dan analitis, 3.) Kaya data dan info mutakhir, 4.) Berani berbicara apa adanya, 5.) Berpikir runut, 6.) Berwawasan luas, 7.) Bukan jago kandang, 8.) Konsisten, 9.) Gampang dihubungi, 10.) Paham dunia jurnalistik.

Ada pakar lain yang berpendapat berbeda dalam menentukan narasumber. Setelah wartawan yakin telah menguasai permasalahan, langkah berikutnya adalah menentukan siapa narasumber yang akan diwawancarai. Orang dapat bermanfaat sebagai pemberi wawancara karena sejumlah alasan. Pemberi wawancara yang ideal adalah yang memenuhi semua faktor ini (Arismunandar. 2013: 3-4). Untuk proyek peliputan yang panjang, faktor-faktor ini menjadi penting:

1. Kemudahan diakses (accessibility). Apakah wartawan dengan mudah dapat mewawancarai orang ini? Jika tidak mudah dihubungi, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menghubungi? Apakah wawancara harus dilakukan lewat telepon atau tertulis, ketimbang bertemu muka langsung? Jika narasumber ini bersifat vital bagi peliputan, wartawan harus realistis tentang prospek wawancara ini.

2. Reliabilitas (reliability). Apakah orang ini bisa dipercaya sebelumnya? Apakah informasi yang diberikan bisa dibuktikan benar oleh sumber-sumber independen lain? Apakah narasumber ini pakar yang betul-betul mengetahui permasalahan? Apa latar belakang kepentingannya sehingga ia bersedia diwawancarai? Wartawan harus hati-hati, karena ia akan terlihat bodoh jika melaporkan isu atau desas-desus yang belum jelas kebenarannya.

3. Akuntabilitas (accountability). Apakah orang ini secara langsung bertanggungjawab atas informasi yang diinginkan wartawan atau atas tindakan-tindakan yang sedang diinvestigasi? Apakah ada sumber lain yang lebih punya otoritas tanggungjawab langsung ketimbang orang ini? Berapa orang sebenarnya yang diwakili oleh seseorang yang menyebut diri sebagai juru bicara?

4. Dapat-tidaknya dikutip (quotability). Mewawancarai seorang pakar yang fasih dan punya informasi lengkap mungkin dapat mengembangkan tulisan, seperti seorang pejabat publik yang blak-blakan dan suka membuat pernyataan-pernyataan kontroversial. Para tokoh masyarakat atau selebritas biasanya sudah tahu, ucapan macam apa yang suka dikutip wartawan. Sedangkan orang awam biasanya tidak ahli dalam ―merekaya soal komentar yang bagus buat dikutip wartawan.

F.Narasumber yang Enggan Diwawancarai

Namun ada juga narasumber yang memang betul-betul tidak ingin diwawancarai, walaupun mereka tidak terang-terangan mengatakannya. Yang mereka lakukan adalah menghindar dengan cara tidak menjawab telepon, atau meminta sekretarisnya untuk mengatakan ―Bapak sedang ke luar kantor, jika ada permintaan wawancara dari wartawan. Sehingga wartawan merasa dipermainkan atau diremehkan. (Arismunandar. 2013: 5-6)

Kalau wartawan menghadapi narasumber yang enggan diwawancarai seperti yang dipaparkan di atas, padahal sumber itu sangat penting bagi peliputan yang sedang dilakukan, wartawan tersebut punya tiga pilihan: Pertama, menuliskan hasil liputan tanpa wawancara. Kedua, menuliskan hasil liputan dengan tambahan keterangan bahwa setelah berusaha dihubungi berulang kali, narasumber tetap tidak menjawab panggilan telepon, pesan fax, atau surat permintaan wawancara. Ketiga, meyakinkan narasumber untuk bersedia diwawancarai.

Orang yang tak mau diwawancarai mungkin menolak wawancara karena beberapa alasan, seperti:

Jika calon pemberi wawancara, yang mengatakan “Saya tak punya waktu untuk wawancara” sebenarnya ingin memanfaatkan waktunya untuk mengerjakan sesuatu yang lain ketimbang diwawancarai oleh wartawan. Mereka memperkirakan lama waktu yang dihabiskan untuk wawancara, dan menghitung manfaat wawancara itu dibandingkan dengan jika waktunya dipakai untuk kepentingan lain.

Orang mungkin tak mau diwawancarai karena takut kelepasan bicara, mengakui telah melakukan suatu kesalahan, atau mengatakan sesuatu yang sebenarnya tak ingin mereka ungkapkan.

Seorang pemalu mungkin takut pada pengalaman diwawancarai. Ketakutan pada sesuatu yang belum dikenal membuat mereka cenderung menolak risiko pengalaman baru diwawancarai.

Orang mungkin menolak diwawancarai karena ingin melindungi keluarga, teman, atau orang lain yang dicintai, atau orang lain yang diketahui melakukan perbuatan salah. Calon pemberi wawancara mungkin juga takut dikaitkan dengan pernyataan atau komentar yang bisa mempermalukan atau mengecam pihak lain.

Calon pemberi wawancara bisa jadi menolak wawancara, karena tak mau mengakui bahwa dia tidak tahu apa-apa atau hanya tahu sedikit sekali tentang masalah yang dijadikan fokus wawancara.

Orang mungkin menolak wawancara karena masalah yang mau dipertanyakan itu membuat dirinya merasa malu, risih, atau dianggap terlalu intim dan pribadi sifatnya.

Orang yang baru mengalami musibah berat mungkin tidak ingin mengungkapkan masalahnya itu kepada umum. Padahal wartawan dengan tulisannya akan mengubah masalah yang bersifat pribadi itu menjadi konsumsi publik.

2.Syarat Wawancara yang Baik

Arismunandar (2013) mengatakan banyak orang sering meremehkan tahapan awal ketika wawancara, padahal tanpa persiapan yang baik wawancara tidak akan menghasilkan sesuai harapan. Persiapan teknis salah satunya, seperti tape recorder untuk merekam wawancara, notes, kamera, dan sebagainya. Wartawan umumnya menggunakan catatan tertulis (notes) dan tidak boleh terlalu tergantung pada alat elektronik. Tapi alat elektronik seperti tape recorder cukup penting untuk mengecek ulang, apabila ada yang terlupa atau ada informasi yang meragukan, yang dikhawatirkan bisa menyebabkan salah kutip.

Kasus tuduhan salah kutip sering terjadi di Indonesia. Banyak kasus di mana pejabat pemerintah mengingkari lagi pernyataan yang diberikan kepada wartawan, sesudah pernyataan yang dimuat media massa itu menimbulkan reaksi keras di masyarakat. Wartawan disalahkan dan dituding salah kutip, bahkan diancam akan diperkarakan di pengadilan.

Untuk menghindari hal-hal ini, sebaiknya wawancara itu direkam dan setiap saat dibutuhkan bisa diputar lagi. Rekaman elektronik memang belum bisa menjadi alat bukti di pengadilan, namun bisa menjadi penunjuk tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, dalam perdebatan mengenai tuduhan bahwa wartawan salah kutip tadi.

Semua jenis peliputan berita memerlukan proses wawancara (interview) dengan sumber berita atau narasumber (interviewee). Wawancara bertujuan pokok menggali informasi, komentar, opini, fakta, atau data tentang suatu masalah atau peristiwa dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber. (Romli. 2003: 33-34)

Ada beberapa hal mendasar yang harus dipahami dan dilakukan dalam melakukan wawancara yang baik:

1. Wawancara hakikatnya adalah sebuah obrolan, seperti berbincang dengan seorang teman, namun dengan topik pembicaraan tertentu dan terarah.

2. Makukan wawancara secara alamiah (to naturally), jangan dibuat-buat atau sangat formalistik sehingga menjadi kaku.

3. Selain mendengarkan dengan baik, pewawancara juga menyimak, merekam, dan menuliskan ucapan narasumber. Sebaiknya seorang pewawancara itu jangan terlalu mengandalkan tape recorder.

4. Jangan melakukan wawancara dengan “kepala kosong”. Carilah referensi di koran atau buku tentang topik wawancara.

5. Menyiapkan pertanyaan. Hal ini tentu salah satu hal yang paling penting. Jangan melakukan wawancara jika tidak menyiapkan bahan pertanyaan. Agar wawancara kita terarah dan jelas.

6. Buat janji dengan narasumber dan datang tepat waktu sesuai janji (khususnya untuk wawancara pribadi dan eksklusif).

7. Perkenalkan diri dan media tempat pewawancara bekerja.

8. Jangan buru-buru mengambil catatan karena hal tersebut bisa membuat gugup narasumber. Sebelum ke tahap tanya-jawab sebaiknya mengobrol basa-basi terlebih dahulu untuk mencairkan suasana.

9. Mengajukan pertanyaan pertama tentang ejaan nama narasumber dan tanggal lahir narasumber. Pewawancara juga bisa minta tolong narasumber untuk menulis sendiri untuk menghindari kesalahan menulis identitas.

10. Mulai wawancara dengan pertanyaan mudah untuk membuat suasana santai narasumber.

11. Mengajukan pertanyaan awal dan akhir (open-ended questions) yang bisa mengundang jawaban panjang dan bisa memunculkan anekdot serta narasumber ajukan yang membuat. Anda memberikan jawaban singkat atau satu-kata (one-word answers). Jangan mengajukan pertanyaan negatif.

Adapun pedoman wawancara adalah sebagai berikut:

1) Dalam dunia jurnalistik, seorang Reporter, penyiar, anchor, host harus melakukan persiapan yang cukup sebelum melakukan atau mewawancarai seseorang.

2) Dia harus paham betul masalah yang akan ditanyakan agar keterangan atau jawaban yang disampaikan narasumber sesuai dengan kebutuhan dan keingintahuan pembaca/pemirsa/pendengar.

3) Seorang wartawan harus paham betul bahwa wawancara yang dilakukannya bukan untuk keperluan pribadinya, editornya, bosnya, atau medianya, melainkan untuk memenuhi kebutuhan dan keingintahuan pembaca atau audiens mereka.

4) Perlu juga mengetahui latar belakang atau sifat orang yang akan menjadi narasumber atau yang akan diwawancarai agar mudah menyesuaikan diri dengannya ketika bertatap muka.

5) Penting sekali bagi seorang jurnalis (wartawan) untuk melakukan riset/penelusuran kecil-kecilan mengenai topik yang akan menjadi materi wawancara dan orang yang akan menjadi narasumber.

C.Sepuluh Tahap Wawancara

Prinsip dasar dan prinsip praktis sebuah wawancara memang ditujukan untuk mempersiapkan sebuah wawancara yang sesungguhnya. Namun, prinsip-prinsip tersebut tidak ‘berhenti’ ketika sang wartawan sedang atau sudah selesai mewawancarai seorang narasumber. Prinsip-prinsip wawancara tersebut juga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan sebuah wawancara, karena pada dasarnya sebuah wawancara hanyalah salah satu alat untuk memperoleh kebenaran. (Ishwara. 2005: 88-90)

Dalam pelaksanaan wawancara sendiri, sekurang-kurangnya seorang wartawan harus melewati dan menjalani sepuluh tahap atau tingkat, yaitu:

1. Jelaskan maksud wawancara.

Wawancara tanpa tujuan yang jelas cenderung akan ngalor-ngidul tidak menentu, Tujuannya harus diketahui oleh kedua belah pihak.

1. Lakukan riset latar belakang.

Pelajari kliping berita di perpustakaan atau melalui internet tentang orang yang akan diwawancara atau topik yang akan dibicarakan. Dalam banyak tulisan harus menghubungi banyak orang. Pewawancara akan mewawancarai keluarga, teman, kolega, atau malah saingan dari orang yang diwawancarai.

1. Ajukan janji untuk wawancara, biasanya melalui telepon. Katakana tujuan wawancaranya. Bersiap untuk “menjual” gagasan tulisan pewawancara bila orang yang ingin anda wawancarai itu tidak antusias.
2. Rencanakan strategi wawancara.

Susunlah pertanyaan menurut rencana yang ingin ditanyakan. Dengan riset latar belakang seharusnya pewawancara tahu jalan terbaik untuk menuju suatu topik. Jika orang yang dihadapi itu dikenal sebagai pendiam atau suka mengelak, carilah sedapatnya tentang hobi, opini, minat, dan lainnya sehingga bisa bicarakan bersama dengan topik yang ingin bahas.

Ulangi maksud wawancara. Perkenalkan diri dan jual gagasan lagi. Menggunakan komentar-komentar untuk mencairkan suasana.

1. Mengajukan pertanyaan serius untuk yang pertama.

Mulai wawancara dengan topik yang menguatkan ego orang yang diwawancara. Lalu ciptakan suasana yang serasi dalam percakapan.

1. Lanjutkan menuju inti dari wawancara.

Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam menuju ke inti wawancara.

1. Ajukan pertanyaan-pertanyaan keras yang sensitif dan menyinggung bila perlu.

Namun simpan pertanyaan-pertanyaan demikian untuk diakhir wawancara.

1. Pulihkan, bila perlu, dampak dari pertanyaan-pertanyaan keras itu.
2. Mengakhiri dan menyimpulkan wawancara.

Memang wawancara membutuhkan keberanian tersendiri karena akan bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya dan berbicara tentang masalah yang sedikit diketahui. Seorang pewawancara menghadapi risiko di sepelekan orang atau dikritik tentang pakaian atau penampilan. Tetapi tidak mengajukan pertanyaan adalah lebih buruk. Seorang pewawancara tidak pernah akan tahu tentang hal-hal yang mungkin akan mengagumkan. Kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang menarik pun akan hilang. Akhirnya, dengan banyak bertanya, ada sebuah hadiah menanti: yaitu belajar. Belajar bukan hanya tentang fakta dan opini yang akan dipakai sebagai bahan tulisan, tetapi juga akan menambah pengetahuan seorang pewawancara itu sendiri.

3.Metode Pembinaan Penulisan Wawancara/Profil

Metode yang digunakan dalam melakukan wawancara berbagai macam. Dalam wawancara kali ini kami akan menggunakan metode wawancara bermain peran dan metode terjun langsung. Untuk lebih jelasnya kami akan memaparkan mengenai kedua metode tersebut.

Metode kali ini adalah metode bermain peran karena dalam metode ini kami akan mengajak siswa untuk bermain peran atau berekting seperti artis-artis yang ada ditelevisi. Kami akan ajak siswa untuk ada yang berperan sebagai wartawan, dan sebagai narasumber. Hal-hal yang harus dilakukan yaitu :

a) Kami ajak siswa untuk menonton video mengenai suatu kejadian seperti berita kecelakaan, video wawancara artis.

b) Siswa akan kami beri waktu untuk fokus memperhatikan video yang ditanyangkan di depan kelas tersebut.

c) Setelah selesai menonton kami akan membagi atau membentuk siswa menjadi beberapa kelompok.

d) Dalam satu kelompok masing-masing beranggotakan 2 atau 3 orang, bahkan lebih tergantung dari materi video yang ditayangkan.

e) Kelompok sudah dibentuk selanjutnya kami akan membagi tugas di dalam kelompok tersebut, ada yang berperan sebagai wartawan, ada yang berperan sebagai narasumber, dan ada pula yang berperan sebagai saksi pendukung bila kita membahasa mengenai kecelakaan.

f) Kami akan member waktu siswa untuk mempersiapkan percakapan, pertanyaan atau yang selayaknya dilakukan oleh seorang wartawan maupun narasumber.

g) Siswa akan memperagakan di depan kelas secara bergilir satu-persatu sebanyak kelompok yang dibentuk.

h) Untuk memberikan apresiasi kepada siswa yang telah melakukan kegiatan ini dan penampilannya bagus atau sesuai dengan informasi yang ditayangkan dalam video tersebut, kami akan memberikan point kepada kelompok yang penampilan bagus dan mendekati.

Yang perlu dipersiapkan sebelum bermain peran yaitu :

v Video/materi yang akan ditayangkan

Metode ini bukan seperti yang dipikirkan orang-orang jika mendengar kata terjun langsung, pasti mereka akan berpikir bahwa orang itu terjun dari gedung lantai 6, atau terjun dari jempatan ke rel kereta api tetapi metode ini dimana siswa akan diajak atau disuruh terjun langsung ke tempat kejadian perkara, langsung ke lapangan tempat peristiwa tersebut terjadi. Agar siswa dapat merasakan langsung bagaimana rasanya melakukan wawancara secara langsung. Hal-hal yang harus dilakukan yaitu :

a) Tentukan tempat atau lokasi kejadian yang akan menjadi target liputan.

b) Jumlah anggota disesuaikan saja.

c) Amati peristiwa tersebut dengan seksama.

d) Tanyakan pada saksi atau orang-orang yang ada di tempat kejadian perkara.

e) Ajukan pertanyaan yang inti atau penting yang dapat mewakili keseluruhan kejadian tersebut.

f) Tidak kalah penting catat nama narasumber, jawaban yang diberukan saksi.

g) Catat juga tanggal dan tempat kejadian agar tidak terjadi kesalahan saat memberikan keterangan kepada orang banyak (pembaca/pendengar).

h) Dokumentasikan peristiwa tersebut, atau tunjuk salah satu teman kalian yang dipercaya untuk menjadi sesi dokumentasi.

i) Tentukan orang-orang yang akan kalian jadikan saksi/narasumber.

Perlengkapan yang harus dipersiapkan yaitu :

v Ajak beberapa teman kalian

v Buku untuk mencatat dan alat tulisnya

Arismunandar, Satrio. 2013. Teknik Wawancara Jurnalistik. Jakarta: Universitas Indonesia.

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Romli, Asep Syamsul M. 2003. Jurnalistik Praktik Untuk Pemula. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.

[U1]NOVIANA WINDRI RAHMAWATI ( )