Bagaimana Cara Mengukur Angka Kemiskinan Begini Menurut BPS

Ilustrasi kemiskinan Jakarta. Getty Images
TEMPO.CO, Jakarta – World Bank atau Bank Dunia mengeluarkan laporan yang menyebut sebanyak 13 juta warga kelas menengah bawah di Indonesia jatuh dalam kemiskinan. Hal ini menyusul adanya pengubahan ketentuan baru mengenai hitungan paritas daya atau purchasing power parities (PPP).

Perlu diketahui bahwa untuk mengukur angka kemiskinan dapat dilihat dari tiga indikator. Berdasarkan situs sepakat.bappenas.go.id dan Badan Pusat Statistik, berikut adalah tiga cara yang bisa digunakan:

Cara pertama dengan melihat proporsi penduduk yang mengeluarkan pendapatan per kapita di bawah garis kemiskinan atau disebut GK. Sementara itu GK mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang, seperti kebutuhan makanan (GKM) maupun non-makanan (GKNM).

GKM dilihat dari kebutuhan seseorang yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita. Paket harian ini seperti dari jenis bahan baku padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak.

Sementara GKNM merupakan kebutuhan di luar makanan. Hal ini dapat berupa perumahan, sandang, pendidikan, serta kesehatan. Diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

1. Kedalaman Kemiskinan (P1)

Yang kedua ialah kedalaman kemiskinan atau ditunjukan dengan kode P1. Caranya dengan melihat rata-rata selisih pengeluaran per kapita penduduk miskin dengan garis kemiskinan yang terjadi di masyarakat.

Jika dilihat bahwa P1 semakin tinggi, maka angka kemiskinan penduduk juga semakin jauh dari rata-rat pengeluargan penduduk per kapita. Sebaliknya, semakin kecil nilai indeks maka semakin mendekati garis kemiskinan.

1. Keparahan Kemiskinan (P2)

Cara ketiga dengan melihat keparahan kemiskinan dengan kode P2. Hitungannya adalah rata-rata dari kuadrat selisih pengeluaran per kapita penduduk miskin dengan garis kemiskinan.

Dengan begitu, keparahan kemiskinan dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Jika nilai indeks semakin tinggi, semakin tinggi juga ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

FATHUR RACHMAN

Baca: Bank Dunia Sebut 13 Juta Warga Miskin Baru di Indonesia, Kok Bisa?

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klikdi sini.