Tekateki Siapa Pembuat Relief Peninggalan Bung Karno Di Gedung Sarinah Mereka Mungkin Saja Menghilangkan Identitasnya

* Heyder Affan
* Wartawan BBC News Indonesia

Sumber gambar, Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Menteri BUMN Erick Thohir meninjau lokasi penemuan relief di gedung Sarinah, Jakarta, Kamis (14/01).

Relief peninggalan Presiden Sukarno di Gedung Sarinah, Jakarta, yang sempat telantar dan saat ini sedang dikonservasi, masih menyisakan teka-teki: mengapa sulit mengungkap siapa pembuatnya. Benarkah mereka sengaja menghilangkan identitasnya?

Asikin Hasan, kurator seni yang dipercaya manajemen Sarinah untuk mengkonservasi relief itu, harus memutar otak. Dia dihadapkan pertanyaan penting: siapa pembuat relief di lantai dasar Gedung Sarinah, Jakarta.

Pada relief itu sejauh ini tidak ditemukan prasasti yang biasanya menjelaskan siapa pembuatnya. Lalu dia pun mengontak beberapa keluarga perupa era 1960an yang diduga terkait dengan karya seni itu, tapi hasilnya nol.

“Kita sudah komunikasi dengan mereka, dan mereka (keluarganya) tidak berani memastikan,” ungkap Asikin Hasan kepada BBC News Indonesia, Rabu (13/01). Sarinah dan Arsip Nasional juga tidak memiliki arsip mengenai relief di lantai dasar Sarinah tersebut.

Alhasil, Asikin kemudian bertumpu pada analisa karya-karya para perupa di era 1960an yang mirip dengan karya seni relief tersebut. Lalu,”tinggal kita membuktikannya secara tertulis, ada enggak bukti bahwa yang mengerjakannya adalah mereka,” paparnya.

Ada dua nama seniman yang dulu dikenal dekat dengan Presiden Sukarno, yang disebutnya kemungkinan besar sebagai pembuat relief sepanjang 12 meter dengan tinggi tiga meter itu. Asikin menolak menyebut namanya, karena “masih spekulatif”.

Tetapi keluarga dua seniman yang bergabung dalam Sanggar Pelukis Rakyat (Yogyakarta) itu tak memiliki bukti, katanya.

Sumber gambar, Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Pada relief bergambar 12 sosok petani dan nelayan yang terbuat dari beton bertulang itu, tim konservator belum menemukan prasasti yang mencantumkan jati diri pembuatnya. Foto: Menteri BUMN Erick Thohir di depan relief, Kamis (14/01).

Lulusan seni rupa patung ITB ini harus mengontak keluarga para seniman itu lantaran tidak menemukan semacam prasasti yang biasanya menyebut siapa pembuatnya. Biasanya, prasasti itu tertera di bagian tapak atau dasar relief yang menjorok ke depan.

Namun pada relief bergambar 12 sosok petani dan nelayan itu yang terbuat dari beton bertulang itu, Asikin dan timnya tidak menemukannya. “Ini belum ketemu,” akunya.

Sekarang tim konservator berusaha mengorek “pelan-pelan” beberapa sudut di tapak relief yang “sedikit tertimbun” adonan semen atau debu tebal. “Ini upaya terakhir,” ujar Asikin.

Asikin dan timnya masih berusaha menemukan jawabannya, namun penulis buku ‘Bung Karno sang Arsitek’ (2005), Yuke Ardhiati, yang juga terlibat penelitian relief di gedung Sarinah, mencurigai pembuatnya sengaja menyembunyikan identitasnya.

“Saya pikir, kalau sejauh ini tidak ada prasastinya, bukan tidak mungkin (sengaja) tidak ditulis,” kata Yuke kepada BBC News Indonesia, Rabu (13/01). “Artinya ada kesengajaan.”

Yuke, yang sedang merampungkan buku ‘Dua relief di Gedung Sarinah’ ini, melontarkan dugaan itu setelah mewawancarai beberapa anggota keluarga seniman, di antaranya Rustamadji, yang diduga mungkin terlibat pembuatan relief di Sarinah.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, “Kelihatan sekali ini gagasan dan ide yang dibangun Bung Karno,” kata Asikin, konservator relief di Gedung Sarinah. Foto: Presiden Sukarno, 15 April 1966.

Selain keluarga Rustamadji, Yuke juga menghubungi keluarga lainnya yang kemungkinan berada di balik relief itu, yaitu perupa Batara Lubis, Djoni Trisno, serta Trubus. Ketiganya merupakan anggota Sanggar Pelukis Rakyat, Yogyakarta. Yang disebut terakhir meninggal dalam peristiwa kekerasan pasca Oktober “Mengerucut pada tiga nama itu, tapi saya tidak akan men-declare eksplisit bahwa itu adalah karya mereka. Ini bisa berubah kalau ditemukan yang lebih sahih,” tegasnya.

Dan saat menghubungi keluarga Rustamadji, Yuke bertemu salah-seorang anaknya. Ketika menunjukkan foto ayahnya dan Bung Karno di sebuah acara, sang anak terlihat terkejut. Dia mengaku tak pernah melihat foto tersebut. Menurut sang anak, ibunya menghilangkan semua dokumen – termasuk foto – terkait Presiden Sukarno.

“Nah, ini salah-satu alasan yang menguatkan saya, mengapa (di relief itu) tidak ada nama (pembuatnya),” kata arsitek dan staf pengajar di Universitas Pancasila, Jakarta, menganalisa.

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Di awal pendirian gedung Sarinah, relief itu berada persis di depan pintu masuk utama. Namun belakangan pintu masuknya diubah dan digantikan gerai restoran cepat saji itu tadi. Foto; Gedung Sarinah, 8 Mei 2020.

Yuke menganggap seniman era 1960an yang dekat dengan Presiden Sukarno, hampir selalu mencantumkan jati dirinya pada prasasti di sudut relief atau patung karyanya. “Orang sangat bangga disuruh Bung Karno (membuat karya seni), lah kok ini tidak ada namanya?”

Ditanya apa kira-kira motif di balik semua itu, Yuke kemudian mengaitkannya dengan periode kekuasaan Sukarno yang diambang kejatuhannya saat relief itu dibuat.

“Saat itu (kekuasaan) Bung Karno sudah meredup,” katanya.

Hanya sampai di sini analisa Yuke. Namun dia kemudian teringat kesaksian perupa Harijadi S, yang mengerjakan relief pesanan Bung Karno di Hotel Bali Beach, Sanur, Bali, pada periode waktu yang hampir bersamaan.

Dikutip oleh anaknya, Ireng Larasati, dalam sebuah buku pada 2015 lalu, menurut Yuke, Harijadi menulis “… Saya disuruh menghilangkan gambar Sukarno. Dengan janji, biaya pembuatan relief akan dialirkan lagi, saya tidak mau.”

Sumber gambar, Dokumen Yuke Adhiati/Bincang santai relief gedung

Keterangan gambar, Rancangan Gedung Sarinah, Jakarta, 1963.

Analisa ini juga diutarakan Yuke dalam acara Bincang Santai Relief di Gedung Sarinah, pekan ketiga Desember lalu. Saat itu dia tampil sebagai salah-satu pembicara dalam acara yang digelar oleh Kemendikbud di Museum Basoeki Abdullah, Jakarta, Di sana dia melontarkan ‘teorinya’ tersebut.

“Ada tiga dugaan tentang ketiadaan prasasti (di relief Sarinah), pertama sebuah kesengajaan, kedua terimbas vandalisme, dan ketiga tertutup sesuatu,” ungkap Yuke.

Asikin sendiri masih meyakini prasasti itu “tertutup sesuatu”, walaupun dia tidak memungkiri bahwa relief itu kemungkinan dikerjakan sekitar 1963 sampai 1965 atau masa-masa akhir kekuasaan Sukarno.

“Relief ini adalah relief terakhir yang pernah dibuat di masa Bung Karno,” katanya. Sebelumnya, Sukarno membuat relief di Hotel Bali Beach (Sanur, Bali), Samudra Beach (Sukabumi), Hotel Ambarukmo (Yogyakarta), dan Hotel Indonesia, Jakarta.

Mengapa relief peninggalan Presiden Sukarno itu ‘ditutup’?
Relief bergambar sosok petani, nelayan, dan beberapa hasil pertanian serta perahu layar itu, juga hewan ternak, tersembunyi di antara mesin-mesin, di belakang gerai restoran cepat saji Mc Donald’s (kini sudah tutup) di lantai dasar.

Sumber gambar, Dokumen Yuke Ardhiati

Keterangan gambar, Tiga pematung Indonesia, antara lain, Trubus dan Djoni Trisno, dan dua patung untuk Hotel Indonesia dan Hotel Samudera Beach pada 1960an.

Di awal pendirian gedung Sarinah, relief itu berada persis di depan pintu masuk utama. Namun belakangan pintu masuknya diubah dan digantikan gerai restoran cepat saji itu tadi.

Pengelola Sarinah mengetahui keberadaan relief ini saat mulai merenovasi gedung itu pada tahun lalu.

Direktur Utama Sarinah, Fetty Kwartati, mengatakan perubahan disain di tahun 1980an membuat relief itu akhirnya ditutup.

“Tahun 1980an, ada perubahan disain, ada perubahan lay out,” kata Fetty dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia melalui zoom, Selasa (12/01).

“Pada saat itu, akhirnya kami memutuskan untuk menutup relief tersebut, karena disesuaikan dengan kondisi yang memang tepat saat itu,” ungkapnya.

Fetty menolak jika disebut relief itu ‘diletakkan’ bersebelahan dengan mesin-mesin.

Sumber gambar, Dokumen Yuke Ardhiati

Keterangan gambar, Pematung Batara Lubis (kiri).

“Tapi karena lokasinya tetap dipertahankan di situ dan lay out-nya yang baru memerlukan area spot untuk mesin dan sebagainya di lokasi tersebut, sehingga lokasinya bersebelahan dengan relief,” kata Fetty.

Dia juga tidak setuju apabila relief itu diistilahkan ‘digudangkan’ atau ‘ditelantarkan’.

“Tapi karena memang lebih kepentingan teknis untuk tidak mengubah posisi dari relief tersebut.”

Berkali-kali Fetty menepis anggapan relief itu ditutup karena dikaitkan dengan perubahan rezim Sukarno ke Suharto, sehingga segala sesuatu yang berbau Sukarno dihilangkan.

“Saya melihat ini kepentingan pusat belanja itu sendiri.

“Di mana pusat belanja dari from time to time ada perubahan dari sisi disain, dan juga perubahan lay out,” jelasnya.

Sumber gambar, Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Keterangan gambar, Direktur Utama Sarinah, Fetty Kwartati (kiri) mengatakan perubahan disain Sarinah di tahun 1980an membuat relief itu akhirnya ditutup. Foto: Fetty mendampingi Menteri BUMN Erick Thohir melihat relief.

Fetty lalu mencontohkan renovasi gedung Sarinah yang sedang berlangsung saat ini. “Jadi lebih kepentingan komersial atau kepentingan teknis dari sebuah pusat belanja.”

Asikin, kurator seni yang dilibatkan dalam konservasi relief ini, mengatakan, masalah utamanya terletak pada “apresiasi” masyarakat terhadap karya seni.

“Persoalan ketidaktahuan kalau ini karya yang berharga, bernilai, bersejarah, artistik. Ini persoalannya,” ujarnya.

Asikin juga tidak melihat penelantaran relief Sarinah itu terkait dengan aspek ideologi dan politik. Seperti diketahui, tema patung dan relief peninggalan Sukarno identik dengan kerakyatan.

“Menurut saya ini lebih kepentingan pragmatis saja. Saya agak kecil melihat dari aspek ideologi dan politis,” paparnya.

Apa keistimewaan relief Sarinah dibanding relief rancangan Sukarno lainnya?
Di awal tahun 60an, Sukarno merancang beberapa relief berskala besar, seperti di Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Bali Beach di Sanur, Bali, Hotel Ambarukmo (Yogyakarta) dan Hotel Samudra Beach di Sukabumi.

Sebelumnya Sukarno juga mendisain tiga relief di bekas bandara Kemayoran, Jakarta.

Sumber gambar, Frederich John Halmarick/Getty

Keterangan gambar, Presiden Sukarno (kanan) dengan latar Hotel Indonesia, 4 Januari 1964.

Dan terakhir, Sukarno diyakini pula di balik keberadaan relief di lantai dasar gedung Sarinah, kata Asikin.

Menurut Asikin, salah-satu keistimewaan relief Sarinah adalah materialnya yang menggunakan beton bertulang. Dia menyebutnya sebagai “permulaan yang baru dalam tradisi pembuatan relief di Indonesia.”

“Kemudian dibuatkan bentangan yang sangat panjang antara 13 dan 15 meter yang dicor dalam satu panel, kemudian relief itu dibangun di situ,” paparnya.

Perihal temanya, Asikin menilai relief di Sarinah merujuk kepada tema keseharian atau kerakyatan, yang “terhubung” dan “dekat” dengan tema-tema koleksi lukisan Bung Karno.

“Kelihatan sekali ini gagasan dan ide yang dibangun Bung Karno,” kata Asikin.

“Misalnya Sukarno pernah punya diksi menarik: marhaenisme, yang melihat atau muncul kepada masyarakat kecil, seperti petani dan nelayan,” tambahnya.

Pesan yang ingin disampaikan melalui relief itu, menurutnya, terletak pada semangat berjuang dalam berdagang. “Sosok-sosok yang ditampilkan dalam 12 patung itu gagah, tidak layu. Ekspresinya penuh semangat,” paparnya.

Sumber gambar, Dokumen Yuke Ardhiati

Keterangan gambar, “Saya syok melihatnya… Itu menunjukkan suatu skala di luar skala manusia. Gigantik!” kata Yuke Ardhiati (foto).

Adapun arsitek Yuke Ardhiati, yang pernah meneliti karya-karya relief rancangan Sukarno, mengatakan, keistimewaan relief Sarinah terletak pada ukuran sosok manusianya.

“Saya syok melihatnya… Itu menunjukkan suatu skala di luar skala manusia. Gigantik!” katanya.

Yuke kemudian membandingkan dengan ukuran tubuhnya saat berdiri di samping patung pada relief yang tingginya mencapai tiga meter.

Keistimewaan lainnya, demikian Yuke, tampilan sosok 12 orang petani dan nelayan yang diperlihatkan “gagah perkasa” dan “tidak membungkuk”.

“Ini beda dengan tampilan wong cilik yang terbungkuk-bungkuk dan penuh rendah diri. Ini gagah banget!” papar Yuke.

Ada dua relief di Gedung Sarinah?
Kira-kira 10 tahun silam, Yuke mendapat informasi sepenggal dari maestro pematung Indonesia, Edhi Sunarso, bahwa ada karyanya berupa mozaik di Gedung Sarinah, Jakarta.

“Sebelum meninggal, dia (Edhi Sunarso) bilang saya punya karya mozaik di Sarinah,” ungkap Yuke Ardhiati.

Edhi Sunarso (meninggal 2016) adalah pembuat Monumen Selamat Datang, Monumen Dirgantara dan Monumen Pembebasan Irian Barat di Jakarta.

Sumber gambar, ROMEO GACAD/AFP

Keterangan gambar, “Sebelum meninggal, dia (Edhi Sunarso) bilang saya punya karya mozaik di Sarinah,” ungkap Yuke Ardhiati. Foto: Monumen Selamat Datang – karya Edhi Sunarso) – sedang dikonservasi pada 31 Oktober 2013.

Informasi itu tak menyebut secara detil di mana letak persisnya mozaik itu. “Saat itu, saya tidak berpikir akan ada relief di lantai dasarnya,” akunya.

Belakangan dia menemukan foto pengusaha Dewi Motik saat belia dan mengenakan kebaya. Dia dipotret dengan latar mozaik di ruang multi guna Gedung Sarinah.

“Saya telepon Dewi Motik, dan dia mengaku saat itu sedang mendaftar acara None Jakarta,” ungkap Yuke.

Kejadiannya pada 1968. Bertempat di lantai 14, tempat itu kelak disulap menjadi night club pertama di Indonesia. Namanya Miraca Sky Club, yang dikelola tokoh perfilman Usmar Ismail. “Tempat itu juga jadi pusat mode, dan syuting film segala,” Yuke bercerita.

Masih penasaran dengan mozaik itu, Yuke menelusuri judul filmnya. Dia berhasil mendapatkan potongan film yang memperlihatkan mozaik tersebut. “Keren banget mozaiknya, lebih mewah dibanding yang di lantai dasar,” katanya.

Sayangnya, dia hanya mendapat satu gambar saja. Padahal dia yakin ada 12 potongan mozaik lainnya. “Temanya, ada perempuan Bali menggerai dagangannya. Itu di bawah. Yang di atas, perempuan berdagang dengan cara berkeliling.”

Sumber gambar, KOMPAS/DUDY SUDIBYO

Keterangan gambar, Bertempat di lantai 14, tempat itu kelak disulap menjadi night club pertama di Indonesia. Namanya Miraca Sky Club, yang dikelola tokoh perfilman Usmar Ismail. “Tempat itu juga jadi pusat mode, dan syuting film segala,” Yuke bercerita. (Foto; Gedung Sarinah, 1980)

Dan apakah relief berupa mozaik di lantai 14 ini masih ada? “Sudah tidak ada,” kata Yuke. Dia sudah mengklarifikasi penelusurannya kepada pimpinan Sarinah dan jawabannya “belum pernah melihatnya.”

“Memang sudah tidak ada. Di berita koran telah terjadi kebakaran (di gedung Sarinah pada 1980an), sehingga meluluhlantakkan sebagian struktur dan pasti koleksi-koleksinya,” ungkap Yuke. Dia menduga kebakaran ini yang menyebabkan mozaik itu tidak ditemukan lagi.

Barulah setelah di media sosial beredar tentang penemuan relief di lantai dasar Sarinah, Yuke sempat mengira relief itu adalah mozaik seperti disebut Edhi. Namun belakangan dia tidak yakin “itu relief yang sama”.

Upaya konservasi: ‘Tampilkan pula narasi saat relief itu diabaikan’
Secara keseluruhan, menurut Direktur Utama PT Sarinah, Fetty Kwartati, relief itu masih utuh dan kondisinya sangat baik.

“Tidak dalam kondisi rusak. Itu masih sangat baik,” kata Fetty.

Asikin mengakui, saat ditemukan, ada dinding triplek yang membelah relief di sisi pinggir relief.

“Itu dinding triplek untuk dua ruang terpisah, ruang mesin dan petugasnya,” ungkapnya.

Namun dia memastikan secara umum relief dalam kondisi baik.

Saat ini pihak Sarinah sedang mengkonservasi relief tersebut, sebelum nantinya ditampilkan ke depan publik pada 17 Agustus nanti.

Sumber gambar, Donald Husni/Getty

Keterangan gambar, Salah-satu sudut Gedung Sarinah di Jalan MH Thamrin, Jakarta, 24 April 2017. Di lantai bawah gedung ini, ditemukan relief peninggalan Bung Karno.

“Jadi restorasinya benar-benar mengembalikan kepada kondisi awal, sedapat mungkin ya,” katanya.

Fetty juga menegaskan posisi relief tetap akan di posisi awal, dan tidak akan dipindah.

Sarinah juga melibatkan tim ahli cagar budaya DKI Jakarta dan tim sidang pemugaran. Kira-kira empat bulan lalu, misalnya saja, mereka diundang Sarinah untuk melihat langsung relief tersebut.

Candrian Attahiyat, salah-seorang anggota tim ahli cagar budaya Jakarta, mengatakan, pihaknya belum mengeluarkan rekomendasi, lantaran data kesejarahan relief itu masih minim.

“Tetapi ini tetap kita jadikan sebagai bagian sejarah pembangunan Sarinah. Sedangkan Sarinah sudah diusulkan sebagai cagar budaya, sehingga reliefnya disusulkan sebagai bagian gedung sarinah,” kata Candrian kepada BBC News Indonesia, Selasa (12/01).

Nilai penting dari relief itu, demikian Candrian, adalah sebagai sebuah narasi sejarah, sehingga harus dilestarikan.

“Ini karya seni bagian dari gagasan Presiden pertama Indonesia, Sukarno, sehingga perlu ada apresiasi,” katanya. Pihaknya mendukung langkah Sarinah untuk menampilkannya kepada publik.

Selain meminta agar relief itu tetap di lokasi awalnya, Candrian juga mengharapkan agar Sarinah menampilkan sejarah perkembangan relief tersebut secara utuh.

Sumber gambar, Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Keterangan gambar, “Ketika relief ini terabaikan, bagaimana ditampilkan dalam visualnya, sehingga masyarakat bisa memahami ternyata riwayat perjalanan relief ini punya perjalanan sedih dan pengalaman bahagia,” kata Candrian. Foto: Menteri BUMN Erick Thohir meninjau relief di Gedung Sarinah, 14 Januari 2021.

“Ketika relief ini terabaikan, bagaimana ditampilkan dalam visualnya, sehingga masyarakat bisa memahami ternyata riwayat perjalanan relief ini punya perjalanan sedih dan pengalaman bahagia,” kata Candrian.

Sarinah, melalui konservator relief tersebut, Asikin Hasan, berjanji untuk menampilkan “riwayat sedih” relief, termasuk akan “membiarkan” adanya vandalisme.

“Supaya publik tahu bahwa relief ini pernah mengalami hal-hal seperti itu. Pernah ada intervensi orang lain dengan material lain,” ujarnya. Dia memberikan contoh “vandalisme” itu seperti intervensi semen di bagian tapak relief tersebut.

Perbaikan gedung Sarinah direncanakan selesai tujuh bulan lagi dan diresmikan bertepatan hari kemerdekaan dan ulang tahun Sarinah, yaitu pada 17 Agustus.

Pada saat bersamaan, konservasi relief bersejarah ini diharapkan tuntas sehingga masyarakat dapat mengapresiasi benda seni yang sempat terbengkalai itu.